HUKUM HENDAKNYA MEMBUAT MASYARAKAT BAHAGIA (SUB II)
Pengaturan oleh hukum bukanlah sesuatu yang menjadi sah
semata, karena ia adalah hukum, tetapi karena mengejar suatu tujuan dan
cita-cita tertentu. Di sini diajukan pendapat filsafat, hukum hendaknya bisa
memberi kebahagiaan kepada rakyat dan bangsanya. Karakteristik hukum
modern yang dipakai di Indonesia adalah sifat rasional
(dan formal). Rasionalitas itu bahkan bisa berkembang sedemikian rupa sehingga
sampai pada tingkat “rasionalitas di atas segala-galanya ” (rationality above else). Dalam
suasana seperti itu, tidak heran bila para
pelaku menyelenggarakan hukum, baik legislator, penengak hukum, dan
lainnya, akan mengambil “sikap rasional” seperti itu pula. Misal bukan keadilan
yang ingin diciptakan, tetapi cukup menjalankan dan menerapkannya secara
rasional.Artinya diyakini, hukum telah dijalankan bila semua orang sudah
berpegangan pada rasionalitas itu.
Di sini tidak ingin dikesampingkan aspek
liberal yang mengawali kelahiran sistem hukum modern bekerja dengan cara
mempertahankan netralitas. Itu dilakukan dengan mengubah format-rasional. Artinya hukum berusaha untuk sama sekali tidak
mencampuri proses-proses dalam masyarakat, tetapi berusaha untuk ada di
atasnya. Sehingga mengingat kita pada semboyan laissez fair laissez passez (biarlah semua berjalan sendiri secara
bebas) di abad ke-19. Maka tugas hukum
adalah hanya menjaga agar individu-individu di masyarakat berinteraksi secara
bebas tanpa ada gangguan; intervensi oleh siapa pun, termasuk negara, tidak
boleh dilakukan.Itulah hakikat dari kerja tipe hukum liberal.
Masyarakat rupanya tidak tahan dengan
bekerjanya hukum liberal, yang hanya mempertahankan kemerdekaan dan kebebasan
individu.Masyarakat ingin agar hukum juga aktif memberi perhatian terhadap
kesejahteraan masyarakat yang sebenarnya.Maka lahirlah era baru yaitu
pascaliberal, di mananegara ikut campur tangan secara aktif dalam menyelenggarakan
gerakan kesejahteraan masyarakat. Ini yang dikenal sebagai “Negara
Kesejahteraan (welvaartstaat)”,
berbagai upaya kesejahteraan seperti: kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan
publik lainnya.
Dilihat dari falsafat liberal, cara
kerja hukum pasca liberal seperti itu sudah merupakan penyimpangan dan
penghianatan terhadap ide liberal yang murni. Kelahiran
hukum modern yang liberal bukan akhir segalanya, tetapi alat untuk meraih
tujuan lebih jauh.tujuan lebih jauh itu adalah “kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat”.
Masyarakat merasa kurang bahagia bila hukum hanya melindungi dan memberi
kekuasaan kepada individu dan tidak memperhatikan kebahagiaan masyarakat.
Kebahagiaan, dengan
mengatakan “wilayah timur
menginginkan kebagiaan” tidak berarti masyarakat di wilayah Barat tidak menghendaki kebagiaan.
Kata-kata itu hanya ingin menyiratkan betapa besar nilai menghendaki
kebahagiaan bagi pengorganisasian masyarakat-masyarakat Timur, termasuk anatara
lain institusi hukumnya. Seorang
intelektual China yang bermukim di Amerika yang bernama Lin Yu Tang, yang
membedakan penepatan rasionalitas hukum modern, dan mengingatkan ada tujuan
yang lebih besar karena perlu berhati-hati dalam melaksanakan sistem yang
rasional. apabila hukum itu tidak disadari, maka hukum akan menjadi kering sehingga
mesyarakat bisa menjadi sakit dan tidak bahagia.
Seperti dikemukakan di atas, tujuan
lebih besar itu ingin dirumuskan dalam kata-kata: keadilan dan kebahagiaan.
Bukan rasionalitas, namun kebahagiaanlah yang hendaknya ditempatkan di atas
segalanya. Para
penyelenggara hukum di Indonesia hendaknya senantiasa merasa gelisah apabila
hukum belum bisa membuat rakyat bahagia, yang juga disebut sebagai
penyelenggaraan hukum prograsif. Gagasan mencari alternatif, terlihat
betapa sejarah hukum modern itu erat dengan kegelisahan untuk mengaitkan tujuan
hukum itu kepada sesuatu yang lebih besar daripada “hukum untuk hukum” semata,
dan itu menjadi kekuasaan pendorong perubahan dari waktu ke waktu.
Hukum
liberal dan pascaliberal
Apabila mencari acuan untuk menggambarkan
perkembangan hukum modern, maka kita tak dapat berbuat lain kecuali merujuk
kepada perkembangan masyarakat dan hukumnya yang terjadi di belahan barat dunia
ini. Hal ini disebabkan semata-mata karena hukum modern itu memang tumbuh dan
berkembang di Barat. Hukum
liberal dan pasca liberal
kendati perkembangan menjadi liberal dan kemudian di pascaliberal sesuai
perkembangan masyarakat menjadi liberal dan pascaliberal itu bukanlah milik
sejarah masyarakat Indonesia.
Perjalan hukum modern yang Indonesia
gunakan sudah melampaui tahap liberal dan sampai kepada pascaliberal sesuai
perkembangan masyarakat di Barat.Hukum prioritas nilai-nilai di Timur dan
Barat. Di Barat, rasionalitas (rationality)
menempatkan nilai tertinggi, sedangkan Timur memberikan pengutamaan kepada
kebahagiaan (happiness). Dorongn ke arah kebahagiaan dapat kita
amati di bagian Timut umunya menerima dan menjalankan hukunya yang notabene
adalah hukum modern, seperti: China, Korea, Jepang dan Indonesia. Jepang juga
menggunakan hukum modern, tetapi dilakukannya karena tidak ingin disebut
ketinggalan dari masyarakat-masyarakat yang lain di dunia yang memakai hukum
modern. Sebetulnya penerimaan Jepang penuh dengan kegelisahan, semata-mata
karena tidak merasa bahagia dengan model hukum modern. Ini terlihat saat
struktur kehidupan Jepang yang terdiri dari omote
(bagian muka) dan ura (bagian
belakang) atau latemae (luar) dan home (dalam) ditarik juga ke bidnag
hukum.
Menerima hukum modern yang ditata secara
formal-rasional, tetapi di dalam hatinya sebetulnya tidak.Maka, mestipun di
luar mereka menerima penggunaan hukum kontrak modern, tetapi bila sudah kepada
pelaksanaannya, mereka lebih mendahulukan dengan cara-cara Jepang (subuah
penelitian di Jepang pada tahun 1970-an). Bila orang Jepang pergii ke kantor
pengacara maka mereka melakukannya dengan perasaan sedih karena kepentingannya
ke kantor itu menunjukkan gagalnya cara-cara Jepang. Karena itu praktik hukum
di Jepang banyak intervensi oleh apa yang disebut the Japaness twits (langgam Jepang).
Pelaksanan the modern criminal justice system di Korea yang mengisyaratkan
ketidakbahagianya mereka dengan menggunakan model hukum modern.Contoh diatas
menunjukkan kegelisahan dan ketidakbahgiaan Timur dalam turut menerima dan
emnggunakan hukum modern.
Bagaimana
dengan Indonesia?
Indonesia juga merasakan kegelisahan
itu, seperti misalnya mengajukan alternatif “Sistem Hukum Pancasila” dan
lain-lain.Tatpi lagi-lagi sindrom wacana
diidap oleh bangsa Indonesia.Pintar mengagas ide-ide, tetapi akhirnya hanya
sampai kepada sebatas omongan, disebut sindrom
wacana.Alih-alih muncul suasana kebersamaan dan kekeluargaan dalam manjemen
industri, yang muncul adalah Masinah dan buruh dijemur.
Hukum adat juga bisa dilihat sebagai
symbol dari kegelisahan dan ketidakbahagiaan dalam menggunakan hukum
modern.Misalnya, dengan mempertahankan organisasi dan hukum Subak sampai
sekarang, Bali ingin tetap menikmati kebahagiaannya di penggunaan hukum modern
di negerinya. Keterpurukan
hukum sekarang, membangun kembali hukum Indonesia dengan suatu penengasan suatu
filsafat baru, bahkan hukum hendaknya memberikan kebahagiaan kepada
rakyat.Memang, untuk bergaul dalam komunitas internasional, Indonesia perlu
menggunakan hukum modern yang umumnya dipakai di dunia.
Dengan menengaskan filsaft tersebut
sebagai landasan bernegara hukum diharapkan bahwa dari situ bisa keluar isyarat
atau sinyal-sinyal yang bisa ditangkap oleh seluruh bangsa kita, khususnya para
legislator,hakim, jaksa, advokat, birokrat, pendidikan hukum, dan institusi
lainya. Tujuan akhir bernegara hukum adalah untuk menjadikan kehidupan rakyat
dan bangsa ini bahagia.
Resensi Buku
Hukum Progresif
(Bagian Pertama
Buku Karya Prof. Satjipto Rahardjo)
Komentar
Posting Komentar