TEORI DAN MANAJEMEN KONFLIK

(ANALISIS TEORITIS KONFLIK)
Oleh: Rehan Mulyadin



1.   TEORI KONFLIK
Istilah konflik berasal dari kata kerja bahasa latin, configure yang bermakna memukul. Kemudian diadopsi dalam bahasa Inggris menjadi conflict dan diadopsi dalam bahasa Indonesia menjadi konflik. Konflik dari perspektif interpersonal adalah proses pertentangan yang diekspresikan diantara dua pihak atau lebih yang saling bergantung mengenai objek, perilaku, dan interaksi yang menghasilkan konflik (Wirawan, 2013: 4).

Beberapa teori konflik yang dikenal dalam sosiologi diantaranya; Karl marx (1818), George Simmel (1881), Lewis a. Coser (1913), Ralf dahrendorf (1929), berikut teori konflik;

-                             Karl Marx
Marx memandang bahwa konflik merupakan kenyataan sosial yang dapat ditemui disepanjang kehidupan masyarakat, konflik sosial merupakan pertentangan segmen-segmen masyarakat untuk memperebutkan aset-aset yang berharga (Raho, 2007: 73). Marx memandang bahwa jalan keluar dari ketidakadilan sistem kapitalis atas kaum buruh harus memenuhi dua unsur: Pertama, kaum proletar harus sadar sebagai orang yang tertindas. Kedua, kesadaran mereka terwujud melalui mobilisasi kekuatan dengan membangun kelompok/ organisasi buruh (Raho, 2007: 77). 

Marx memandang bahwa buruh secara individual tidak akan mampu membuat perubahan atau gerakan revolusi yang lebih besar tampa ada kekuatan solidaritas yang massif dikalangan kaum proletar yang dirugikan oleh kaum kapitalis. Karena kelas dominan atau yang berkuasa (kaum borjuis) mengatur hubungan-hubungan sosial produksi, dominan ideologi dalam masyarakat kapitalis adalah bahwa dari kelas penguasa.

-                           George Simmels
Pandangan Simmel memunculkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang konflik.konflik merupakan bentukan sosial yang berinteraksi dan mendesainnya dalam rangka untuk memecahkan dualisme sebagai cara untuk mencapai kesatuan. Konflik tidak dimaksudkan untuk menghentikan keteraturan sosial yang menyebabkan berhentinya kehidupan masyarakat. 

Keteraturan dan konflik akan membentuk kesatuan atau kehidupan sosial bersama dan secara keseluruhan akan bersifat positif.Dalam konsep yang negatif, masyarakat atau kelompok dipahami sebagai entitas tanpa keperbedaan atau terisolir dari keberagaman. Konflik dalam teori Simmel diidentifikasikan sebagai berikut: 

  • Kompetisi diartikan sebagai bentuk konflik tak langsung dimana kemenangan harus terjadi akan tetapi bukan merupakan tujan akhir dan setiap pelaku tertuju pada tujuan tanpa menggunakan kekuatan dalam perlawanan dari partai selanjutnya (konsumen) atau untuk semuanya.
  • Untuk melindungi dirinya sendiri dari konflik dalam kelompok yang lebih besar, konflik dilokalisir pada kelompok kecil karena dalam kelompok kecil terdapat solidaritas yang lebih organis yang bisa mentolerir konflik atau mencegah konflik yang lebih besar. Konflik dibatasi oleh norma-norma dan hukum yang menjadikannya sebuah kompetisi yang lebih murni. Kompetisi seperti ini secara tidak langsung meningkatkan manfaat bagi yang lain.
  • Konflik dalam kelompok akan menciptakan rasa memiliki kelompok terhadap anggota, sentralisasi terhadap struktur dan menciptakan persekutuan. Kelompok akan membangun eksistensi sosialnya terhadap musuh mereka ketika kelompok menghadapi adanya perlawanan dari musuh.

-                            Ralf Dahredorf
Dahrendorf berpandangan bahwa masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan konsensus. Dahrendorf dalam tesisnya mengungkapkan berbagai posisi kekuasaan pada masyarakat mempunyai otoritas yang berbeda. Otoritas itu sendiri terletak pada posisi dalam kekuasaan. Otoritas menyiratkan pada posisi superordinasi dan subordinasi. Hal ini dapat dipahami sebagai sejumlah asosiasi-asosiasi didalam masyarakat yang dikoordinasi secara imperatif, asosiasi manusia yang dikendalikan hirarki otoritas kekuasaan. 

Sehingga konflik lahir dari benturan kepentingan-kepentingan kelompok. Pada posisi asosiasi superordinat, orang cenderung berada dalam posisi dominan berusaha mempertahankan status quo, sementara pada posisi subordinat berusaha untuk merubahnya. Konflik dapat saja muncul dari terancamnya legitimasi otoritas kepentingan laten didalam setiap absosiasi. 

Dahrendorf mengemukakan bahwa distribusi otoritas kekuasaan yang berbeda-beda merupakan faktor yang menentukan bagi terbentuknya konflik sosial yang sistematis (Raho, 2007: 78). Otoritas atau kekuasaan tidak terdapat secara intrinsik pada posisi-posisi yang ditempati individu, jadi konflik bisa saja lahir dari adanya unsur kekuasaan dan yang dikuasai atau tuan dan bawahan. Pandangan tersebut lebih melihat bahwa konflik dapat muncul melalui kepentingan dua kelompok yang saling berbeda. Pada proses ini dapat kita lihat bahwa sumber dari konflik pada sistem sosial menuju konflik terbuka sangat bergantung pada masing-masing kelompok yang bertikai untuk meminimalisir terjadinya konflik yang lebih besar, yaitu konflik pertentangan kelompok kekuasaan dan konflik kelompok kepentingan.
Pertentangan Kelompok dan Perubahan Sosial, Salah satu model variabel analisis konflik  Dahrendorf adalah derajat kekerasan dalam konflik kelas, tingkat dimana konflik itu secara eksplisit diterima dan diatur.  Pengaturan konflik erat kaitanya dengan kondisi politik, kesadaran kelas dan pembentukan kelompok kepentingan yang bersifat konflik (Johnson, 1986:191). 
Munculnya Kelompok Kepentingan Konflik, Dahrendorf menjelaskan kondisi-kondisi kepentingan laten menjadi manifest dan kelompok semu, semua itu dapat diubah menjadi kelompok kepentingan yang bersifat konflik. Keadaan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai kondisi teknis, kondisi politik, dan kondisi sosial (Johnson,1986:186).
-                           Lewis Alfred Coser
Dalam teori strukturalisme konflik, Coser memandang bahwa pemahaman masyarakat terkait konflik sebagai kesadaran yang tercermin dalam semangat pembaharuan masyarakat (Poloma, 2004:106).
Coser mendefinisikan konflik sebagai “social conflict to mean a struggle over values and claims to scarce status, power and resources in which the aim of the proponents are to neutralize, injure or eliminate their rivals” (Kinseng, 2014: 11). Coser meyakini, bahwa semua hubungan sosial mempunyai tingkat antagonisme tertentu, ketegasan, ketegangan, atau perasaan negatif. Ketegasan dan perasaan negatif merupakan hasil dari keinginan individu untuk meningkatkan kesejahteraan, kekuasaan, prestise, dukungan sosial, dan penghargaan lainya untuk dirinya (Johnson, 1986:199).

Konflik dan solidaritas sosial
Semakin dekat hubungan sosial maka semakin besar pula rasa kasih sayang yang tertanam dalam solidaritas sosial, sehingga kecenderunganuntuk menekan rasa permusuhan semakin besar pula. Sedangkan pada hubungan sosial yang bersifat primer tidak selalu demikian, keterlibatan total partisipan membuat terungkapnya rasa permusuhan merupakan ancaman bahaya bagi keberlangsungan hubungan tersebut. Sebagaimana ditegaskan oleh coser, bahwa tidak adanya konflik tidak bisa dianggap sebagai petunjuk kekuatan dan stabilitas dari hubungan. 

Konflik yang diungkapkan merupakan sebagai tanda-tanda yang hidup dari hubungan sosial, sedangkan dengan ketiadaan konflik dapat berarti penekanan masalah-masalah yang menandakan akan ada suasana yang benar-benar kacau (Poloma, 2004: 113). Ketiadaan konflik didalam kelompok dipandang sebagai indikator yang buruk mengenai kekompakan dan solidaritas kelompok. Coser meyakini bahwa semua hubungan sosial memiliki tingkat antagonisme tertentu, ketegangan, atau perasaan-perasaan negatif lainya (Johnson, 1986: 199). Hal ini berlangsung pada hubungan kelompok yang intim, hubungan yang segmental dan sekunder.

Konflik realistis dan non-realistis
Coser membagi konflik dalam dua bentuk, yaitu konflik realistis (manifest) dan non-realistis (latent). Konflik realistis muncul dari kekecewaan atau tuntutan khusus yang berlangsung didalam hubungan sosial dan diarahkan ke pihak yang dianggap mengecewakan. Konflik dapat menetapkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik kelompok dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak melebur kedalam dunia sosial sekelilingnya. 

Seluruh fungsi positif konflik itu dapat dilihat melalui ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan out group. Konflik yang sedang berlangsung dengan out-groups dapat memperkuat identitas para anggota kelompok (Poloma, 2004:108). Dinamika konflik tampak jelas pada hubungan kelompok dalam (in group) dan kelompok luar (out group) yang terjadi secara langsung. Kekuatan solidaritas internal sementara integrasi kelompok dalam akan bertambah tinggi karena tingkat konflik dengan kelompok luar bertambah besar (Johnson, 1986: 196).

Katup penyelamat (savety valve)
Katup penyelamat (savety-valve), Coser memandang katup penyelamat berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan permusuhan, yang tampa itu hubungan diantra pihak-pihak yang bertentangan akan semakin tajam. Coser menyatakan lewat katup penyelamat (safety-valve) tersebut, bahwa permusuhan-permusuhan dihambat agar tidak berpaling melawan objek aslinya. Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu: Mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu, menciptakan kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan konflik yang bersifat destruktif (Poloma, 2004:109). Seluruh fungsi positif konflik (keuntungan dari situasi konflik yang memperkuat struktur) dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan out group.


2.  MANAJEMEN KONFLIK
Manajemen konflik merupakan sebuah proses pihak yang mengalami konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan menerapkanya dalam mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan. Manajemen konflik bermaksud sebagai keterpaduan (intergrated) yang menyeluruh untuk menetapkan tujuan dalam penanganan konflik.Beberapa hal yang mesti diperhatikan dalam manajemen konflik, diantaranya:
  • Manajemen konflik sangat terkait dengan visi, strategi dan sistem nilai/kultur organisasi manajemen konflik yang diterapkan akan terkait erat dengan ketiga hal tersebut.
  • Manajemen konflik bersifat proaktif dan menekankan pada usaha pencegahan. Bila fokus perhatian hanya ditujukan pada pencarian solusi-solusi untuk setiap konflik yang muncul, maka usaha itu adalah usaha penanganan konflik, bukan manajemen konflik.
  • Sistem manajemen konflik harus bersifat menyeluruh (corporate wide) dan mengingat semua jajaran dalam organisasi. Adalah sia-sia bila sistem manajemen konflik yang diterapkan hanya untuk bidang Sumberdaya Manusia saja misalnya.
  • Semua rencana tindakan dan program-program dalam sistem manajemen konflik juga akan bersifat pencegahan dan bila perlu penanganan. Dengan demikian maka semua program akan mencakup edukasi, pelatihan dan program sosialisasi lainnya

Teori Manajemen Konflik yang terdiri dari teori Grid, teori Thomas&khilmann dan teori Rahim, sebagai berikut:

-                             Teori Grid
R.R. Blake dan J. Mouton (1964) menggunakan istilah gaya manajemen konflik. Kerangka teori gaya manajemen konflik disusun berdasarkan dua dimensi :pertama, perhatian manajer terhadap orang/bawahan (concern for people)pada hubungan yang horizontal dan kedua, perhatian manajer terhadap hasil produksi (concern for production)pada hubungan vertikal. Berdasarkan tinggi rendahnya kedua dimensi tersebut, mereka mengembangkan lima jenis gaya manajemen konflik, antara lain :
  • Memaksa (forcing), Perhatian seorang manajer yang tinggi terhadap produksi, sedangkan perhatian rendahnya terhadap bawahannya. Ia berupaya memaksakan kehendaknya untuk meningkatkan produksi dengan mengabaikan orang lain jika menghadapi konflik.
  • Konfrontasi (confrontation), Perhatian seorang manajer yang tinggi terhadap produksi dan bawahannya cenderung menggunakan konfrontasi dalam memanajemen konflik. Ia berupaya berkonfrontasi untuk meningkatkan produksi dan dalam waktu yang bersamaan berkonfrontasi untuk memperhatikan orang yang dipimpinnya.
  • Kompromi (compromising), Perhatian seorang manajer yang perhatiannya rendah terhadap produksi dan bawahannya biasanya akan menarik diri jika mengahdapi konflik. Ia mau berkompromi mengenai tingkat produksi organisasi demi memenuhi kesejahteraan bawahannya.
  • Menarik diri (withdrawal), Perhatian seorang manajer yang perhatiannya rendah terhadap produksi dan bawahannya biasanya menarik diri jika menghadapi konflik. Ia lebih senang bersikap secara pasif, seolah-olah tidak terjadi konflik dan tidak mau menghadapi konflik.
  • Mengakomodasi (smoothing), Perhatian seorang manajer yang perhatiannya rendah terhadap produksi, sedangkan tinggi perhatiannya terhadap bawahannya cenderung memberikan akomodasi jika menghadapi konflik. Ia menyerah kepada keinginan lawan konfliknya emi hubungan yang baik dan kesejahteraan bawahannya (Wirawan. 2013; 138-139).

-                              Teori Thomas dan Kilmann
Kenneth W. Thomas dan Ralp H. Killmann (1974) mengembangkan taksonomi gaya manajemen konflik berdasarkan dimensi :pertama,  kerjasama pada sumbu horizontal dan kedua, keasetifan pada sumbu vertical. Kerja sama adalah upaya orang untuk memuaskan orang lain jika menghadapi konflik. Keasertifan adalah upaya orang untuk memuaskan orang lain jika menghadapi konflik.Berikut adalah gaya kelima jenis gaya manajemen konflik tersebut.
  • Kompetisi (competing), Orang-orang yang cenderung ke arah gaya kompetitif mengambil sikap tegas, dan tahu apa yang mereka inginkan. Mereka biasanya beroperasi dari posisi kekuasaan, yang diambil dari hal-hal seperti posisi, pangkat, keahlian, atau kemampuan persuasif.
  • Kolaborasi (collaborating), Orang cenderung ke arah gaya kolaboratif mencoba untuk memenuhi kebutuhan semua orang yang terlibat. Orang-orang ini dapat sangat tegas tapi tidak seperti pesaing, mereka bekerja sama secara efektif dan mengakui bahwa setiap orang adalah penting.
  • Kompromi (Compromising), Orang yang suka gaya mengorbankan mencoba untuk menemukan solusi yang akan setidaknya sebagian memuaskan semua orang. Setiap orang diharapkan untuk memberikan sesuatu, dan kompromi dirinya sendiri juga mengharapkan untuk melepaskan sesuatu. Kompromi berguna ketika biaya konflik lebih tinggi daripada biaya kehilangan tanah, saat lawan kekuatan yang sama berada pada macet dan ketika ada batas waktu menjulang.
  • Mengakomodasi (accomodating), Gaya ini menunjukkan kesediaan untuk memenuhi kebutuhan orang lain dengan mengorbankan kebutuhan orang itu sendiri. Accommodator sering tahu kapan harus menyerah pada orang lain, tetapi dapat dibujuk untuk menyerah posisi bahkan ketika itu tidak dibenarkan.
  • Menghindar (avoiding), Orang cenderung ke arah gaya ini berusaha untuk menghindari konflik sama sekali. Gaya ini ditandai dengan mendelegasikan keputusan kontroversial, menerima keputusan default, dan tidak ingin menyakiti perasaan siapa pun. Namun dalam banyak situasi ini adalah pendekatan yang lemah dan tidak efektif untuk mengambil peluang.Perbedaan Gaya Kolaborasi dan Kompromi
ü  Kolaborasi : Solusi berupa alternatif lain yang bukan tujuan kedua balah pihak yang terlibat namun kedua belah pihak sepenuhnya puas
ü  Kompromi : solusi berupa alternative lain yang memenuhi sebagai keinginan masing-masing pihak namun kedua belah pihak hanya merasa terpenuhi sebagian keinginannya (Wirawan. 2013; 140-144).

-                              Teori Rahim
M.A. Rahim (1983) mengembangklan model gaya manajemen konflik yang tidak jauh berbeda dengan model yang dikemukakan oleh Thomas dan Killman (1974). Klasifikasi gaya manajemen konflik Rahim disusun berdasarkan dua dimensi :pertama,memperhatikan orang lain pada sumbu horizontal dan kedua, memperhatikan diri sendiri. Berdasarkan tinggi rendahnya, jenis gaya manajemen dibagi menjadi lima, antara lain :
 Dominasi (dominating), Pihak yang trelibat konflik, hanya berupa memenuhi tujuannya sendiri dan tidak memperhatikan kebutuhan lawan konfliknya.
  • Integrasi (Integrating), Pihak yang trelibat konflik berusaha menciptakan resolusi konflik yang secara maksimal  memenuhi tujuan dirinya sendiri dan tujuan lawan konfliknya.
  • Komromi (compromising), Pengguna gaya ini berusaha memenuhi sebagian tujuannya dan tujuan lawan onfliknya tanpa berupaya memaksimalkannya.
  • Menghindar (avoiding), Pihak yang terlibat konflik menolak untuk berdiskusi mengenai konflik yang terjadi. Ia menolak untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan kebutuhan lawan konfliknya.
  • Menurut (obliging), Pihak yang terlibat konflik, mengombinasikan perhatiannya yang tinggi terhadap lawan konfliknya dengan perhatiannya yang rendah terhadap dirinya sendiri (Wirawan. 2013; 144-145).


Oleh: Arihan 
Mahasiswa Pascasarjana Sosiologi
Universitas Sebelas Maret Surakarta





          Daftar Bacaan

  • Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. University of florida. Jilid II. (Diterjemahkan oleh Robert M.z. Lawang). Jakarta: Gramedia.   
  • Raho. Bernard, SVD. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
  • Poloma, Margaret M. 2004. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada
  • Sopiah, 2008. Perilaku Organisasional. Yang Menerbitkan CV Andi Offset : Yogyakarta.
  • Wirawan. 2013. Konflik dan mnajemen konflik (teori aplikasi dan penelitian). Salemba humanika: Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Bima Kisah Putri yang Hilang Dae La Minga

DESA LAJU DAN TRANSMIGRASI UPT LAJU MERINTIS PEMBAGUNAN BIMA

Seni Beladiri Gantao Sebagai Identitas Suku Mbojo