Hukum Itu Perilaku Kita Sendiri (Sub 1)
Peraturan
dan Perilaku
Dari
pengamatan terhadap praktik hukum selama
ini tampak sekali “intervensi” oleh perilaku terhadap normativitas (perintah)
dari hukum. Orang membaca peraturan dan berpendapat bahwa orang harus bertindak
begini atau begitu.Tetapi, yang terjadi ternyata berbeda atau tidak persis
seperti dimengerti orang.Inilah yang disebut intervensi perilaku
itu.Berdasarkan data empirik itu, dibangun konsep teori bahwa hukum bukan hanya
urusan (a business of rules), tetapi
juga perilaku (matter of behavior).
Dalam
suatu peraturan, misalnya, jelas tercantum secara limitatif, yang boleh
mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap perkara pidana yang sudah diputus
adalah terpidana atau ahli warisnya.Tetapi, pernah jaksa mengajukan PK dan
diterima pengadilan.Jadi, perwujudan hukum PK telah diintervensi perilaku
jaksa.
Van
Doorn, sosiolog hukum Belanda mengutarakan secara lain. Hukum, katanya, adalah
skema yang dibuat untuk menata (perilaku) manusia, tetapi manusia itu sendiri
cenderung terjatuh di luar skema yang diperuntukkan baginya.Ini disebabkan
faktor pengalaman, pendidikan, tradisi dan lain-lain yang mempengaruhi dan
membentuk perilakunya.
Maka,
dalam usaha untuk membenahi hukum di Indonesia, kita perlu menaruh perhatian
yang seksama terhadap masalah perilaku bangsa. Kehidupan hukum tidak hanya
menyangkut urusan hukum teknis, seperti pendidikan hukum, tetapi menyangkut
soal pendidikan dan pembinaan perilaku individu dan sosial yang lebih luas.
Aturan
main UUD 1945
Selama
ini kita hampir selalu mengabaikan perilaku orang-orang yang menjalankannya.
Kita melewatkan perhatian terhadap kultur konstitusi. “Sekalipun dibuat UUD
yang bersifat perseorangan, maka UUD tidak ada gunanya”, demikian kata-kata
yang tertera dalam penjelasan UUD. Ini satu isyarat untuk memberi perhatian
terhadap aspek perilaku dan kultur konstitusi.
Apa
yang tercantum dalam penjelasan itu sebenarnya merupakan aturan main yang
penting bagi sukses menjalankan UUD. Dengan pencantuman kata-kata seperti itu,
sesungguhnya para penyusun UUD sudah melakukan suatu tindakan yang boleh
dibilang cukup jenius, karena sudah merambah ke wilayah “kultur hukum”.
Disebut
jenius, karena aspek kultur hukum masih belum banyak dibicarakan dunia saat itu
(tahun 1940-an). Bahkan, didunia akademis atau ilmu hukum, ia baru diperhitungkan
sebagai unsur sistem tahun 1960-an. Maka, bila nanti perubahan UUD sudah beres,
sebetulnya masalahnya masih cukup jauh dari selesei. Kita masih akan berurusan
dengan aspek perilaku dari orang-orang yang menjalankannya.
Masih
terngiang dalam telinga kita kata-kata anak muda yang cerdas dalam suatu dialog
TVRI yang berbunyi, “Selama UUD kita dijalankan orang-orang yang berjiwa
kerdil, maka impian dan cita-cita UUD tidak akan terwujud.” (Indonesia Jangan Menjadi Negara Hukum
Kacangan, Kompas, 19/8/2002). Dalam
versi yang lain, seorang pernah mengatakan, “Berikan padaku hakim dan jaksa
yang baik, maka dengan hukum yang buruk saya bisa mendatangkan keadilan.” Jadi,
sekali lagi diingatkan pentingnya faktor perilaku atau manusia dalam kehidupan
hukum.
Human Capital Indonesia
Apakah
kita memiliki HC (Human Capital)
untuk bangun dari keterpurukan sekarang ini?Jawabannya, kita punya.Kendati
demikian, jumlah mereka terlalu sedikit dan tenggelam dalam potret buruk hukum
kita. Lebih daripada itu, mereka biasanya tersingkir dari medan hukum, karena
dirasakan “mengganjal praktik yang lazim”.
Mereka
itu ada di kejaksaan, pengadilan, dan tempat lain. Di sini tidak akan disebut
nama, cukup mengatakan apa yang telah mereka lakukan. Seorang mantan jaksa
mengatakan kepada rekan-rekannya yang sibuk mengumpulkan sejumlah bukti-bukti, “Dengan beberapa lembar
bukti ini saja saya sudah bisa membawa orang besar itu ke pengadilan.” Lalu,
seorang hakim mempunyai kebiasaan untuk bertanya kepada hati nuraninya lebih
dulu sebelum memutuskan, sedang peraturan itu nomor dua untuk menunjang putusan
hati nuraninya.Hati nurani tak dapat diajak kompromi dengan apapun.Karena
peraturan dinomor-duakan itulah, maka putusan-putusan hakim bersangkutan sering
disebut kontroversial.
Memerlukan Social Capital
Kita
sering menyatakan kebanggaan diri kita sebagai bangsa yang berbudi luhur,
bermoral, bersifat kekeluargaan, kebersamaan, dan semacamnya. Tetapi, itu tidak
tembus sampai ke kultur hukum kita. Kultur itu malah lebih cenderung ke individualisme.Sekalian
moralitas itu belum menjadi social
capital (SC) kita.
Dalam
kaitan dengan tulisan ini ingin ditunjukkan, di dasarnya, hukum membutuhkan
SC-nya sendiri.Saat terjun ke kehidupan bernegara hukum, setiap bangsa membawa
bekal SC masing-masing.Malangnya, kita tidak mampu menunjukkan SC dan baru
sampai pada omongan, kendati sudah didorong proyek penataran Pancasila dan
segala macam yang bernilai miliaran rupiah. Misalnya, orang berbicara mengenai
hubungan Perburuhan-Pancasila sampai “berbusa-busa”, tetapi yang muncul adalah
“Marsinah”, “buruh dijemur”, dan lain-lain. Akhirnya kehidupan hukum kita
seakan tidak memiliki tulang belakang.Sungguh, SC bagai tulang belakang yang
amat dibutuhkan dalam menjalani kehidupan bernegara hukum.
Jepang
dan AS memiliki SC masing-masing sebagai pendukung negara hukumnya. Jepang
menekankan moral kolektivisme (seperti kita, sic!), AS pada individualisme dan liberalisme. Orang
AS amat rasional dalam menjalankan hukum, sedang Jepang menggunakan nuraninya.
Diceritakan ada dua orang (AS dan Jepang) akan menyeberang jalan tetapi
tertahan lampu merah. Ketika sudah tidak ada kendaraan lewat, orang AS mengajak
menyeberang saja.Tetapi si Jepang mengatakan, “Kalau saya menyeberang,
sedangkan lampu masih merah, muka saya mau ditaruh di mana?” Itulah perbedaan
dalam SC yang membawa kepada perilaku dan kultur yang berbeda.
Oleh: Rehan Mahasiswa PPs Sosiologi UNS
Resensi Buku Hukum Progresif
(Bagian
Pertama Buku Karya Prof. Satjipto Rahardjo)
Komentar
Posting Komentar