Karakteristik Masyarakat Indonesia (Multikultural) dan Pro-kontra Gerakan Transnasional Islam




Oleh: Rehan
*Materi diskusi Forms NTB-Surakarta ke-III
 


Pro-kontra gerakan Islam di Indonesia 

Dalam skala politik internasional terorisme menjadi bomerang bagi umat Islam, karena ketidak adilan Amerika yang menjustifikasi bahwa Islam lekat dengan terorisme, pada hal sudah menjadi pengetahuan kita bersama bahwa, Islam mengecam keras tindakan kekerasan, karena Islam adalah agama yang cinta perdamaian. Ironisnya, isu terorisme ini juga dibenturkan dengan eksistensi pesantren yang sudah lama diakui oleh masyarakat mempunyai peran penting dalam pengembangan dan terus menfasilitasi aktivitas sosial keagamaan masyarakat.
Ini merupakan satu kekuatan kultural yang mampu dijadikan sebagai instrumen dalam menghadapi percaturan global. Seperti isu terorisme yang dibenturkan dengan eksistensi pesantren di seluruh Indonesia hanyalah strategi Barat untuk menguasai dunia Islam khususnya di negara-negara dunia ketiga, oleh karena itu kita harus melakukan munter hegemonic dengan strategi kebudayaan yang kita miliki.

Pluralitas Gerakan 

Disisi lain, pluralitas masyarakat Islam di Indonesia juga mengalami perkembangan yang sangat pesat, yang tercermin pada banyaknya "sekte-sekte" yang terus bemunculan, seperti, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Hizbuttahrir Indonesia (HTI), Front Pembebas Islam (FPI), Laskar Jihad, Lembaga Dakwah Islam Indonesia LDII, Kelompok Salafi, Islam Jama'ah, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Jaringan Islam Liberal (JIL), Jaringan IntelektuaI Muda Muhammadiyah (IMM) dan lain sebagainya. Beberapa aUran tersebut ada yang menganut paham modern dan ada pula yang menganut paham Islam fundamentalis. Selain itu, di Indonesia juga terdapat aliran keagamaan yang dinilai meresahkan masyarakat yaitu, kelompok Ahmadiyah dan kelompok Eden. Dua aliran inti telah menimbulkan konflik sampai mengarah pada kebiasan masyarakat akar rumput.
Jika ditelah secara mendalam, politik terorisme internasional akan merenggangkan kerekatan kultural antara pesantren dan masyarakat yang sudah lama dibangun. Dan tentunya akan mengarah pada disintegrasi umat Islam, sehingga integritas umat Islam sebagai kekuatan sosial akan terfragmentasi oleh konflik internal, akibat isu yang tidak jelas tetsebut, dan ini membuat seluruh kaum muslimin “tegang”.
Ini merupakan suatu belenggu atas kebebasan pesantren. ini akan memetakan Islam dan pesantren dalam perspektif politik internasional yang berusaha untuk mengungkap kebohongan Barat atas isu terorisme yang sekarang sedang santer dan tentunya mampu memberikan dinamika perubahan tersendiri dalam dunia pendidikan Islam, khususnya pesantren (Manfred Ziemck, 2005:31).
Sedikitnya terdapat tiga pesantren-pesantren al Mukmin Ngruki di Surakarta, Pesantren Al Zaitun di Indramayu, dan pesantren Al Islam di Tenggulung Solokuno Lamongan yang disebut-sebut dalam diskursus Islam radikal di Indonesia versi Amitika. Ketiga pesantren tersebut diduga menjadi sumber gagasan-gagasan untuk mendirikan Negara Islam, menerapkan syari'at Iskm dan juga mengkampanyekan anti-Amerika, sehingga memunculkan gerakan-gerakan terorisme. Namun tak bisa dipungkiti, bahwa pengklaiman ini tentu menimbulkan ekses negatif bagi perkembangan pesantren pada skala global. Dalam ranah pengembangan pesantren, secara garis besar terdapat dua hal yang harus diperhatikan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal mehputi sistem kepemimpinan kyai, sikap dan pandangan kyai, ustadz, santri, dan kondisi organisasi pesantren, sedangkan faktor eksternal terdiri dari, masyarakat sekitar pesantren, pemerintah, serta institusi-institusi modern lainnya. Adapun yang seringkali luput dari pengamatan kita adalah eksistensi kekuatan globalisasi.
Banyak orang yang mengakui, bahwa eksistensi pesantren yang merupakan agen perubahan (agent of change) bagi masyarakat dalam diskursus global diharapkan mampu menjadi struktur mediasi (mediating structurf) yang mampu memahami persoalan-persoalan yang muncul dalam masyarakat dan dapat menjembatani pemberdayaan masyarakat untuk mewujudkan cita-cita bersama membentuk civil society. Karena lembaga pendidikan inilah yang "ramah" dengan masyarakat, pada ranah sosial-budaya, ekonomi, lembaga ini juga mampu berperan sebagai lokomotif dan dinamisator dalam mengawal perubahan. Banyak pesantren di Indonesia yang sudah berperan seperti yang disebutkan di atas.



Referensi

  • M. Imam Zamroni. 2005.Islam, Pesantren Dan Terorisme. Jurnal Pendidikan Agama Islam Vo1. ll. No. 2. 
  •  Abdurrahman wahid, syafi’I ma’arif dan mustofa bisri. 2009. Ilusi Negara islam: ekspansi gerakan islam transnasional di Indonesia. The wahid institute dan maarif institute:Jakarta 
  •  Hendrik Boby Hertanto.2012 .Masyarakat Multicultural Dan Multikulturalisme.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Bima Kisah Putri yang Hilang Dae La Minga

DESA LAJU DAN TRANSMIGRASI UPT LAJU MERINTIS PEMBAGUNAN BIMA

Seni Beladiri Gantao Sebagai Identitas Suku Mbojo