Pengembangan Ilmu Sosial Untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
*Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI)
Sejarah
perkembangan ilmu sosial di Negara-negara “Dunia Berkembang” memiliki pertalian
intim dengan kekuasaan. Corak kekuasaan yang dicerminkan adalah bias Barat
(Eropasentris atau Eurocentric) yang merupakan bagian dari proyek Negara
kolonial. . Juga terdapat corak kekuasaan Negara pasca-kolonial (nasional) pada
periode berikutnya. Kekuasaan yang bersembunyi dibalik konstruksi ontologis dan
epistimologis ilmu sosial berada dalam tiga konteks sejarah berikut,pertama
karya ilmu social (sejarah, hukum, dan Indologi) yang lahir pada era
kolonialisme memiliki kepentingan pelembagaan “rust en orde” dan pertumbuhan
kapitalisme Negara Kolonial. Periode ini menghasilkan karya yang bernada
colonial apologetic and religious propagation.
Etnologi dan hukum diperlukan untuk memahami masyarakat (lokal) jajahan dalam proses pemantapan Negara Kolonial serta pemahaman mengenai dampak yang diakibatkan dari diterapkannya hukum Barat bagi masyarakat Hindia. Kedua, karya social-ilmiah sepanjang era pasca-kolonial atau pada era Perang Dingin, dimana proyek pembangunan Negara-bangsa dan identitas nasional menguat. Pada periode ini gugatan terhadap bias barat atas ilmu social berjalan seiring dengan dirumuskannya identitas nasional yang bersifat politik. Suara nasionalisasi muncul diman-mana. Proyek pengembangan ilmu social sekaligus adalah proyek politik, sehingga tidak heran muncul kritik mengenai lemahnya basis filasafat pengetahuan yang dibangun. Ketiga, karya-karya studi social di era “governmental” mengenai model pembangunan, dan kebijakan.Pada era ini pembangunan bukan semata-mata berarti pengembangan teknis mengenai objek-objek material, namun sekaligus pembangunan ideology yang mengintervensi wilayah kesadaran, dimana di belakang proyek tersebut adalah agenda pengembangan kapitalisme di Negara-negara “Dunia Berkembang”.
Etnologi dan hukum diperlukan untuk memahami masyarakat (lokal) jajahan dalam proses pemantapan Negara Kolonial serta pemahaman mengenai dampak yang diakibatkan dari diterapkannya hukum Barat bagi masyarakat Hindia. Kedua, karya social-ilmiah sepanjang era pasca-kolonial atau pada era Perang Dingin, dimana proyek pembangunan Negara-bangsa dan identitas nasional menguat. Pada periode ini gugatan terhadap bias barat atas ilmu social berjalan seiring dengan dirumuskannya identitas nasional yang bersifat politik. Suara nasionalisasi muncul diman-mana. Proyek pengembangan ilmu social sekaligus adalah proyek politik, sehingga tidak heran muncul kritik mengenai lemahnya basis filasafat pengetahuan yang dibangun. Ketiga, karya-karya studi social di era “governmental” mengenai model pembangunan, dan kebijakan.Pada era ini pembangunan bukan semata-mata berarti pengembangan teknis mengenai objek-objek material, namun sekaligus pembangunan ideology yang mengintervensi wilayah kesadaran, dimana di belakang proyek tersebut adalah agenda pengembangan kapitalisme di Negara-negara “Dunia Berkembang”.
Pertanyaan-pertanyaan
kritis tentang bangunan ilmu sosial di Indonesia selama sekian dekade
semakin ramai. Vedi Renandi Hadiz dan Dhakidae (ed., 2005) menyorotinya dalam
hubungan dengan kekuasaan (Negara); Hanneman Samuel (2010) melihatnya dalam
debat teori sejak era colonial hingga modernism Amerika; Syed Farid Alatas
(2010) mengkaji kondisi ilmu kondisi ilmu social Asia yang terhegemoni oleh
Eurocentrism (Eropasentrisme) serta usulannya akan diskursus alternatif untuk
mendekonstruksinya; dan Heru Nugroho (2012) menunjukkan gejala “involutif” dan
banalitas komunikasi ilmu social beserta produksi pengetahuannya.
Konteks
yang berubah memberi tantangan baru bagi ilmu social Indonesia. Dihadapkan pada
isu semakin terkomersilkannya (Market Led) pendidikan dan pengetahuan,
perubahan bentuk media informasi dan percepatannya,ide-ide (neo) liberalism dan
teknikalisasi agendanya dalam proyek pembangunan di Indonesia, politik pasca
rezim otoriter, menguatnya kekuatan sipildan politik daerah, tuntutan
masyarakat adat (indigenous peoples) akan hak-haknya, hadir sebagai
kekuatan-kekuatan baru yang menuntut jawaban kritis komunitas ilmuwan social
baik yang berkiprah di dalam kampus atau non kampus. Dalam Konstelasi seperti
inilah
Dalam
konstelasi struktur sosial politik yang dipayungi oleh hegemoni dikotomis
antara sekularisme dan teokrasi, antara liberisme dan etatisme,
antara Sosialisme dan kapitalisme, maka dibutuhkan Ilmu Sosial
Indonesia yang mampu mewujudkan Indonesia yang berkesejahteraan dan
berkeadilan Sosial sebagaimana dikemukakan dalam tujuang pembentukan Negara
Indonesia, yaitu :
“Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada :
- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia, dan
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
- serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.“
Kebutuhan
yang mendasar adalah pengembangan kelembagaan dalam bentuk pranata sosial dan
modal sosial yang mampu membentuk Karakter negara Indonesia yang sejahtera dan
berkeadilan. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut maka diperlukan pengembangan
sistem pemerintahan dan hukum yang berkeadilan, pengkuatan nilai moralitas,
kemasyarakat dan pola kehidupan bersama yang berbineka tunggal ika serta
pengkuatan kualitas Sumberdaya manusia dan kepemimpinan berlandaskan karakter
dan idiologi bangsa, Pancasila.
Artikel Pada Kongres ISI
Universitas Sebelas Maret, Bekerja sama dengan Himpunan Indonesia Untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS)
(Surakarta,
UNS-Solo, 23 Oktober 2013)
Komentar
Posting Komentar