Seks, dan Perilaku Seksual Dalam Masyarakat

"Ditinjau dari Analisis Sosiologi"
Oleh: Rehan Mulyadin


Pendahuluan 
           Berdasarkan pemikiran itu, A. Comte membedakan sifat sosiologi menjadi dua, yaitu sosiologi statis dan sosiologi dinamis. Sosiologi statis memusatkan perhatian pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar adanya masyarakat. Contohnya, masyarakat dilihat dan dipahami menurut unsurunsur, seperti nilai, norma, peranan, lembaga, stratifikasi, dan struktur sosial.Sosiologi yang bersifat dinamis memusatkan perhatian terhadap perkembangan masyarakat berdasarkan perubahan yang terencana atau yang terarah oleh proses pembangunan. Dasar pemikiran ini juga yang menjadi dasar dalam melihat perkembangan hidup keluarga. Pada masanya rintisan pemikiran Comte tersebut disambut hangat oleh masyarakat luas. Keadaan itu dapat dilihat dari tampilnya sejumlah ilmuwan besar di bidang sosiologi di Eropa. Mereka itu, antara lain Herbert Spencer, Emile Durkheim, George Simmel, dan Max Weber. Pandangan Herbert Spencer tentang masyarakat mengambil ibarat tentang kondisi tubuh manusia atau memahaminya menurut analogi organik; dimana antara bagian yang satu berhubungan secara fungsional dengan bagian lainnya. Masyarakat sebagai suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang memiliki hubungan ketergantungan satu sama lain atau bersifat organik. Maka cara pandang dan pemahaman yang sama sebagaimana disebut, diterapkan juga terhadap usaha untuk mempelajari Sosiologi Keluarga. 
        Pemikiran Max Weber untuk mencurahkan minatnya dan dalam mempelajari masyarakat dilakukan dengan menggunakan pendekatan verstehen (pemahaman) terhadap makna yang terkandung di dalam realitas sosial atau di balik tindakan manusia; yang dilakukan dengan menelusuri nilai, kepercayaan, tujuan, dan sikap yang menjadi penuntun perilaku dan tindakan manusia.Pemikiran Max Weber untuk mencurahkan minatnya dan dalam mempelajari masyarakat dilakukan dengan menggunakan pendekatan verstehen (pemahaman) terhadap makna yang terkandung di dalam realitas sosial atau di balik tindakan manusia; yang dilakukan dengan menelusuri nilai, kepercayaan, tujuan, dan sikap yang menjadi penuntun perilaku dan tindakan manusia.Peter L. Berger menggambarkan kenyataan sosial sebagai suatu proses dimana melalui tindakan-tindakan dan interaksinya manusia menciptakan terus-menerus suatu kenyataan yang dimiliki bersama. Filsafat Berger menekankan bahwa pengetahuan kita mengenai faktor obyektif dalam dunia kenyataan ditentukan (conditioned) atau di warnai oleh lingkungan sosial dimana pengetahuan itu di peroleh, di transmisikan, atau di pelajari. Dengan kata lain kita tidak pernah menangkap kenyataan kecuali dalam kerangka proses social dimana kita terlibat (Johnson, 1988:66). 
           Manusia pada dasarnya tidak dapat hidup seorang diri karena pada hakekatnya manusia memiliki naluri untuk hidup bersama (berkelompok). Dalam kelompok-kelompok itulah individu memiliki kepentingan yang tentunya berbeda dengan individu satu dengan yang lainnya. Demi menjaga kepentingan diantara mereka maka dibentuklah peraturan, norma, nilai, etikayang diharapkan nantinya dapat menjaga keseimbangan didalamnya hidup bersama (bermasyarakat).Baudrillard mengungkapkan kata hari ini realitas “itu adalah hiper realitas” berarti tidak ada lagi yang realita di muka bumi ini. Baudrillard memandang era simulasi dan hiperealitas sebagai rangkaian dari fase percintraan (George, 2010:164). Menurut pemikiran Baudrillard, revolusi sosial bukan lagi mengenai penguasaan produksi bukan karena kapitalis melainkan adalah karena perubahan dan kontrol sarana produksi ke kontrol kode. Tanda dulu dikaitan dengan objek, akan tetapi saat ini keterkaitan itu sudah terhapuskan, tanda tidak menujukkan realitas. Namun yang sekarang dipahami adalah permainan penanda. Dimana kode tidak merujuk pada belbagai realitas yang subjektif ataupun objektif, akan tetapi pada logika itu sendiri. Tanda jika bertemu dengan tanda lainnya akan membuat makna yang berbeda, serta makna akan ditemukan dalam hubungan itu. 
      Tanda-tanda sekarang yang dihasilkan bisa saja tidak mewujudkan realitanya. Proses sosial ini sangat mempengaruhi pikiran kita atau bentuk pengetahuan mengenai kenyataan dan juga struktur kesadaran subyektif kita. Berger menekankan dua dimensi (obyektif dan subyektif) dalam kenyataan sosial. Dalam arti masyarakat dan institusinya diciptakan dan di pertahankan atau diubah melalui tindakan-tindakan manusia. Meskipun masyarakat dan institusinya nampaknya riil secara obyektif, namun kenyataan itu didasarkan pada definisi subyektif yang diciptakan melalui proses interaksi. Masa remaja dikatakan sebagai masa transisi yang rentan, karena pada periode itu seseorang meninggalkan tahap-tahap kehidupan anak-anak untuk menuju ke tahap selanjutnya yaitu tahap kedewasaan. Fenomena seks juga dalam kehidupan manusia bisa dikategorikan seumur dengan kehidupan dan peradaban ummat manusia itu sendiri. Seks dalam tatanan tradisi, agama dan kebudayaan adalah sesuatu yang eksklusif, sakral dan “tabu” untuk diperbincangkan manusia, dikarenakan seks merupakan awal dari kehidupan ummat manusia. (Muhlis Hadrawi, 2008 : 34) Meningkatnya arus seksualitas di kalangan remaja khususnya bagi mahasiswa tidak hanya terjadi dalam seks bebas yang sifatnya “suka sama suka” atau saling merelakan untuk berhubungan seks, akan tetapi juga telah bermuara pada tindak kriminalitas yang berupa pemerkosaan, prostitusi, pelecehan dan trafficking. 
      Seks bebas kerap membuat para penegak dan aparat hukum merasa geram. Di berbagai media hampir setiap hari menghadirkan berita seks dalam bentuk kriminalitas, para pelakunya kebanyakan kaum mahasiswa. Oleh karena itu apapun bentuknya tindakan kriminalitas tidak akan pernah ditolerir oleh aparat penegak hukum bangsa ini begitupun juga dengan tinjauan hukum islam yang telah menentukan cara penyaluran naluri seks melalui cara.Pada dasarnya seks illegal dapat dipetakan menjadi dua yaitu; Pertama, Seks yang terjadi atas dasar “suka sama suka” tanpa melalui proses pernikahan. Kedua, seks yang terjadi dalam bentuk pemaksaan dan pengkhianatan berupa perkosaan, perselingkuhan, trafficking, pencabulan, pelecehan dan prostitusi seks. Inilah yang sering diistilahkan sebagai kriminalitas seks. Dengan melihat pada hubungan timbal balik antara individu dan masyarakat dapat membantu untuk melihat bagaimana masyarakat itu bersifat subyektif dan obyektif. Melalui aktivitas kreatifnya, manusia mengkonstruksikan masyarakat dan sebagai aspek kenyataan sosial. 
         Kenyataan sosial diciptakan itu mengkonfrontasikan individu sebagai kenyataan eksternal dan obyektif. Individu lalu menginternalisasikan hal ini sedemikian rupa sehingga menjadi bagian dari kesadarannya atau dengan kata lain individu menciptakan masyarakat dan pada gilirannya masyarakat menciptakan individu. Berger menggunakan istlah-istilah eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi untuk menggambarkan hubungan dialektik antara individu dan masyarakat. Eksternalisasi menunjuk pada kegiatan kreatif manusia, obyektivasi menunjuk pada proses dimana hasil-hasil kreatif tadi mengkonfrontasikan individu sebagai suatu kenyataan obyektif, sedangkan internalisasi menunjuk pada proses dimana hasil-hasil kreatif tadi mengkonfrontasikan individu sebagai suatu kenyataan obyektif. Sedangkan internalisasi menunjuk pada proses dimana kenyataan eksternal menjadi bagian dari kesadaran subyektif individu. (Johnson, 1988 :68).Dunia yang beragam ini dicirikan melalui teori-teori sebagai dunia seksual, kesukuan seksual, gerakan social, “kontra publik”, dan jaringan seksual. Kebudayaan seksual tidak pernah harmonis, tertatap rapi, atau berupa holism berdasarkan consensus, kebudayaan seksual itu berlapis-lapis, cair, bisa dirundingkan, dan baru. Oleh karena itu tidak ada budaya gay yang terpadu, budaya pekerja seks, budaya jalanan, kebudayaan heteroseksual, atau kebudayaan sadomasokis/ keanekaragaman panorama.  
        Sebagian besar ciri-ciri utama kehidupan seksual disusun melalui system biner laki-laki dan perempuan, meskipun gagasan ini sendiri merupakan buah dari kekuatan-kekuatan historis dan penguatan ulang performatif harian berikutnya, setidaknya kita harus bertanya; mengapakah kaum perempuan yang paling berpeluang dilecehkan, menjadi korban pemerkosaan, penjaja seks dan paling kecil kemungkinanyamenjadi pemuja seks, ketagihan seks, pelecehan seks. Seperti yg disebutkan Joane nage (2003) sebagai etnoseksualitas yang memperlajari bagaimana seks mengalami rasialisasi.
       Seksualitas manusia pun secara perata bersemayam didalam konflik-konflik, kontradiksi dan pertarungan seksual, perhatikan berbagai bidang kehidupan seksual, dapat ditemukan perselisihan, kebudayaan manusia sendiri sarat dengan paradok seksual, yang dijumpai lintas kebudayaan lintas kelompok, dan lintas individu. Kita terus berputar dalam pembahasan tentang seksualitas ini ibarat memutari labirin secara terus menerus, mengorek pada permukaan kehidupan sehari-hari, muncul juga teka-teki yang kontradiktif kehidupan seksual, manusia tidak pernah sepakat tentang seksual.
Seks 
         Seks dalam bahasa Latin adalah sexus, yaitu merujuk pada alat kelamin. Seks hanya memiliki pengertian mengenai jenis kelamin, anatomi dan fisiologisnya, sedangkan menurut Budiarjo seksual merupakan sesuatu yang berhubungan dengan seks dan reproduksi juga berhubungan dengan kenikmatan yang berkaitan dengan tindakan reproduksi. (Luthfie, 2002). Budiarjo mendefinisikan seksualitas merupakan aspek-aspek dari individu yang membuatnya mudah untuk berperilaku seksual dan juga membuatnya tertarik dengan lawan jenis. (Luthfie, 2002). Sementara itu menurut Thornburg menjelaskan seksualitas meliputi karakteristik fisik dan kapasitas untuk berperilaku seks yang dipadukan dengan hasil proses belajar psikoseksual (nilai, sikap dan norma) sehubungan dengan perilaku tersebut.Hasrat, seksual merupakan suatu terjemahan penting dari sifat dasar hasrat manusia, terutama terkait ereksi penis dan klitoris. 
       Hasrat tidak lebih daripada penegasan tubuh/fisik, karena hasrat tersebut tidak terjadi “diluar kemauan” dalam artian bahwa kita tidak bisa memperlakukan hasrat sebagai sebuah instrument melainkan sebaliknya, fenomena biologis yang otonom yang memperlakukan hasrat diluar hasrat menandakan pemendaman kesadaran didalam tubuh itu sendiri. Perlu dipahami bahwa tidak semua orang tubuh kita lembut dan dapat diraba, jika semua otot tubuh disebut organ seksual, maka seks hanyalah manifestasi dari kehidupan yang tidak menggairahkan. (Paul, 2016:39-40).
Dorongan Seks 
         Meskipun generalisasi pendapat ini masih perlu diuji, namun bila ditinjau dari konsep conditioning tampaknya bisa diterima. Romantisme pacaran yang dominan dirasakan oleh mereka yang jatuh cinta tidak jarang berkembang dan mendorong ke arah perilaku seks. Apabila pasangan dalam pacaran itu sama-sama memiliki dorongan ke arah perilaku seks, maka kemungkinan terjadinya hubungan seks sebelum nikah akan mudah terjadi (Faturochman,1990).Clayton dan Bokemeier (1980) menyimpulkan bahwa perilaku seks sebelum nikah erat sekali kaitannya dengan sikap permisif terhadap perilaku seks sebelum nikah tersebut. 
        Sikap sebagai predisposisi perilaku memang tidak selamanya akan manifes.  Faktor-faktor tersebut antara lain adalah tempat tinggal (Reschovsky dan Gerner, 1991), keluarga, kawan, dan komunitas.Worchel dan Cooper (1983) sikap dan perilaku bisa konsisten apabila sikap dan perilaku yang dimaksud adalah spesifik dan ada relevansinya satu dengan yang lain. Karena sikap permisif terhadap hubungan seks sebelum nikah dan perilaku seks sebelum nikah spesifik dan relevan satu dengan yang lain, maka sikap tersebut bias menjadi prediktor bagi perilakunya. Sikap tidak permisif terhadap hubungan seks sebelum menikah atau disebut traditional permissiveness indikatornya adalah aktivitas keagamaan dan religiusitas (lihat Clayton dan Bokemeier, l980).
Perilaku Seks 
      Perilaku seksual dapat didefinisikan sebagai bentuk perilaku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis maupun sejenis. Menurut Simkin, perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Bentuk tingkah laku ini beraneka ragam mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. (Amrillah, 2006 : 10). perilaku seksual merupakan perilaku yang dihayati oleh segala bentuk manifestasi naluri seksual manusia dalam kehidupannya. Perilaku seksual yang dicetuskan individu merupakan implikasi suatu proses mental terhadap situasi dan kondisi konkrit jasmani yang mengarah pada pola pemenuhan kepuasan psikis. (Amrillah, 2006:10). 
       Menurut Chaplin, tujuan seksual sendiri adalah untuk kesenangan atau kepuasan seksual atau juga pengendoran ketegangan seksual. Kartono juga menjelaskan bahwa seks adalah mekanisme bagi manusia untuk melanjutkan keturunan. Seks bukan hanya perkembangan dan fungsi primer saja, tetapi juga termasuk gaya dan cara berperilaku kaum pria dan wanita dalam hubungan interpersonal atau sosial. (Amrillah, 2006 : 9). Dalam banyak hal, sosio-biologi didasarkan dengan cukup kuatnya pada prinsip-prinsip darwinisme terkait perbedaan alamiah antar organisme yang melahirkan perbedaandalam kemampuanya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan meneruskan keturunan. Mekanisme mempertahankan sifat-sifat tertentu yang menguntungkan tersebut ditransmisikan keketurunan telah banyak dipengaruhi oleh perkembangan tekhnologi modern genetika. Perbedaan genetika secara alamiah dalam menghasilkan reproduksi, bukanlah alasan untuk dijadikan dasar penilaian penduduk yang unggul atau tidak. (Johnson, 1986:236).  
         Analisis sosio-biologis tidak bertujuan menuntut asumsi mengenai insting yang universal, seragam, atau determinisme biologis. Akan tetapi sebaliknya bahwa ada bentuk variasi alamiah antarindividu dan antar populasi sehubungan dengan tingkat kepuasan emosional yang berasal dari pemeliharaan keturunan. Perilaku seks dalam masyarakat sebagai bentuk penyimpangan social dapat kita uraikan dalam bentuk pembahasan free sex, Sex Chat, sex komersial, Homoseksual, Lesbian, dan Transgender.
  • Seks Bebas
     Seks pra-nikah merupakan aktivitas seksual yang dilakukan tanpa mengindahkan nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat yang mengaturnya yang dilakukan oleh remaja sebelum pernikahan. Free sex menurut Sarwono (1988: 8) didefinisikan sebagai perilaku hubungan seksual yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan apa-apa selain suka sama suka dan bebas dalam seks. Pendapat lain yang dikemukakan Sarwono (2002: 137) bahwa yang dimaksud seks bebas adalah hubungan yang didorong oleh hasrat seksual, baik denganlawan jenis maupun dengan sesama jenis yang di lakukan pada pasangan tanpa adanya ikatan pernikahan.  
        Perilaku seks bebas yang dilakukan oleh seseorang merupakan hubungan yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis, tanpa adanya ikatan perkawinan, dan dapat dilakukan secara bebas dengan banyak orang. Pengetahuan remaja mengenai dampak seks bebas masih sangat rendah. Yang paling menonjol dari kegiatan seks bebas ini adalah meningkatnya angka kehamilan yang tidak diinginkan. Di Amerika, 1 dari 2 pernikahan berujung pada perceraian, 1 dari 2 anak hasil perzinahan, 75% gadis mengandung diluar nikah, setiap hari terjadi 1,5 juta hubungan seksual dengan pelacuran. Di Inggris 3 dari 4 anak hasil perzinahan, 1 dari 3 kehamilan berakhir dengan aborsi, dan sejak tahun 1996 penyakit syphillis meningkat hingga 46%. Di Perancis, penyakit gonorhoe meningkat 70% dalam jangka waktu satu tahun. (Gamal Komandoko, 2009 : 125)

  • Homoseksual/Lesbian
         Homoseksual (Neng Djubaedah, 2010 : 90) adalah hubungan seksual antara orang-orang yang berjenis kelamin sama yaitu laki-laki dengan laki-laki, atau perempuan dengan perempuan, atas dasar kesukarelaan mereka. Jika hubungan seksual sejenis kelamin itu dilakukan oleh sesama laki-laki, dalam hukum pidana islam disebut liwath, sedangkan jika hubungan seksual sejenis kelamin itu dilakukan oleh sesama perempuan disebut musahaqah. Menurut Hukum Islam homoseksual itu dilarang. 
  • Komersialisasi Seks 
         Pelacuran secara umum adalah praktik hubungan seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja, untuk imbalan berupa uang. Menurut Tuong (Bagong Suyanto, 2010: 159), Tiga unsur utama dalam praktik pelacuran adalah: Pembayaran, Promiskuitas dan Ketidakacuhan emosional. Secara lebih terperinci Purnomo dan Siregar (Bagong Suyanto, 2010:159) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan prostitusi, pelacuran, atau persundalan adalah peristiwa penyerahan tubuh oleh wanita kepada lelaki dengan imbalan pembayaran guna disetubuhi dan sebagai pemuas nafsu seks si pembayar, yang dilakukan diluar pernikahan. Sementara itu, W.A. Bonger (Bagong Suyanto, 2010:159) menyatakan prostitusi adalah gejala kemasyarakatan dimana perempuan menjual diri melakukan perbuatan seksual sebagai mata pencaharian.
         Noelen Heyzer (Bagong Suyanto, 2010: 160) membedakan tiga macam tipe pellacur menurut hubungannya dengan pihak pengelola bisnis pelacuran. Pertama, Pelacur yang bekerja sendiri tanpa calo atau majikan. Seringkali mereka beroperasi dipinggir jalan atau masuk satu bar ke bar yang lain. Kedua, Pelacur yang memiliki calo atau beberapa calo yang saling terkait secara hirarkis. Biasanya si pelacur hanya memperoleh sebagian kecil dari uang yang dibayarkan oleh kliennya. Ketiga, Pelacur yang dibawah naungan sebuah lembaga atau organisasi mapan. Contohnya klub panti pijat Plus-plus, tempat lokalisasi Dolly, dan hotel-hotel.

  • Seks chat
          Realitas sex chat ini adalah realitas simulative, realitas yang diada-adakan melalui bantuan kemajuan teknologi media. Kecanggihan media internet mendorong simulasi aktivitas seksual ini, melampaui seks yang ada di alam nyata. Di dalam kehidupan sehari-hari ketika ingin melakukan seks dengan seseorang di perlukan pengenalan terlebih dahulu. Interpretasi terhadap fenomena sex chat ini akan memperhatikan unsur-unsur komunikasi konvensional itu, tetapi akan tetap akan lebih menekankan pada interpretasi proses komunikasi di antara pihak-pihak yang saling berinteraksi.
        Seks virtual merupakan sebuah seks yang tebentuk dari ilusi, serta manipulasi diri untuk menjadikan sebuah selera yang ada dirinya sendiri. Tubuh yang mampu untuk mengekpsresikan dirinya dengan leluasa tersebut mampu menembus ruangan yang pribadi sekalipun. Kekuasaan atas tubuh membuat si pemberi gambar dengan leluasa melakukan keinginannya dalam hal bercinta. Tak hanya kekuasaan yang ada di dalam tubuh yang dapatdikendalikan kekuatan untuk mengekspresinya. Secara virtual merupakan kebebasan tubuh serta kebebasan hasrat untuk melakukannya tanpa ada pembatasan. Tubuh dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan. Hal ini membuktikan bawah manusia yang melakukan seks virtual memunyai kepuasaan atas tubuhnya sendiri, kekuasaan untuk mengatur dirinya sendiri mampu mengendalikan tubuhnya sendiri.  
 
       Seks, dan Perilaku Seksual Dalam Masyarakat Ditinjau dari Analisis Ilmu Sosiologis, merupakan salah satu hasrat dasar pada masyarakat dalam membangun hubungan sosial, mempererat keteraturan, budaya, norma sosial dan berlangsungnya juga permasalahan maupun konflik dalam masyarakat. Seks dalam paradigma-paradigma sosiologi dalam pendekatan terhadap perilaku manusia dalam beragama, berpolitik dan meraih kekuasaan itu sendiri. 


Referensi  
  • Abduli Kadir, hatib. 2007. Tangan Kuasa Dalam Kelamin Telaah Homoseks, Pekerja Seks, dan Seks bebas Di Indonesia. Yogyakarta. INSIS press  Alman, 
  • Dennis. 2007. Global Sex Politisasi Seksual, Komersial Tubuh, dan Hubungan Interneasional. Jakarta: Qalam. 
  • Bagong Suyanto. 2010. Masalah Sosial Anak. Jakarta : Kencana. 
  • Bungin, Burhan, 2009. Sosiologi Komunikasi. Jakarta : Kencana. 
  • Eco,Umbrerto. 2011. Teori Semiotika Signifikasi Komunikasi, Teori Kode, serta Teori Produksi-Tanda. Yogyakarta : Kreasi Wancana. 
  • Burhan Bangin, 2003. Pornomedia Konstruksi Sosial Teknologi Telematika dan Perayaan Seks di Media Massa. Jakarta: Prenada Media.  
  • Johnson, Doyle Paul, (1988), Teori Sosiologi: Klasik & Modern, jilid 1 & 2, Erlangga, Jakarta.  
  • Jean-Paul Sartre. Seks dan revolusi. Narasi: jogyakarta cetakan kedua, 2016 (modern times: selected non-fiction. Penguin books, London, 2000)  
  • Gamal. Komandoko. 2009. Kamus Kecil Remaja. Jogjakarta: Garailmu  
  • Gerungan, W.A., 1986, Psikologi Sosial, Bandung : Eresco. 
  • Michael Foucault. 1997. sejarah seksualitas: Seks dan kekuasaan. Pt. Gramedia pustaka utama: Jakarta.  
  • Ritze, George. 2010. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta : Kreasi Wancana.  
  • Kartono, Kartini, 1999, Psikologi Perkembangan Anak, Bandung : Mandar Maju. Sadily, Hasan, 1984, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta.  
  • Susanto, dkk. 2002. Laporan Penelitian Fenomena Perilaku Seks Pra-nikah Yogyakarta dan Surakarta Sebagai Indikasi Adanya Distorsi Nilai Dalam Budaya Jawa.UNS.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Bima Kisah Putri yang Hilang Dae La Minga

Seni Beladiri Gantao Sebagai Identitas Suku Mbojo

DESA LAJU DAN TRANSMIGRASI UPT LAJU MERINTIS PEMBAGUNAN BIMA