RESOLUSI KONFLIK DAERAH BIMA MENUJU KEHIDUPAN MASYARAKAT BIMA YANG RAMAH

(Analisis Konflik Antar desa di Daerah Bima)   
-: Rehan Mulyadin :-

       Konflik di kabupaten maupun di kota Bima sulit dipahami dari perspektif homogenitas dalam sosial dan budaya, karena masyarakat yang konflik memiliki identitas sosial yang sama; pertama, sama-sama beragama Islam. Kedua, Sama-sama berlatarbelakang suku yang sama dan dialek bahasa Bima yang sama. Ketiga, sama-sama masyarakat petani yang hidup dari komoditi pertanian sawah dan kebun. Keempat, Bahkan warga yang berkonflik masih terikat dalam ikatan keluarga dan kerabat yang dekat. Faktor pembedanya hanyalah faktor wilayah administratif pemerintahan yakni desa atau kelurahan. Namun faktor pembeda yang relatif kecil tersebut cenderung menjadi faktor utama yang melakukan proses-proses pematangan eskalasi konflik dari konflik laten menjadi konflik terbuka/ manifest.
     Akar masalah dari konflik Renda dan Ngali secara laten, telah terbentuk dari tradisi ndempa ndiha (perkelahian massal) tersebut yang kemudian membentuk sebuah bentuk karakter pemuda yang merasa tangguh, dan berjiwa pahlawan (Superior) atau sejenisnya ditengah masyarakat. Hal ini pada umumnya cenderung dilindungi dan dijalankan secara bersama-sama oleh sekelompok pemuda atau masyarakat sebagai nilai persatuan atau solidaritas yang saling mengikat untuk melindungi antara satu dengan yang lainya.
     Bila ditelususri secara cermat, kasus konflik yang terjadi dimasyarakat Renda dan Ngali cenderung masyarakatterprovokatifoleh kondisi yang tidak terkendali. Penyelesaian konflik sosial yang berlangsung selama ini oleh pemerintah yaitu dengan menyalurkan tenaga kepolisian dan militer untuk meredakan konflik. Bentuk penanganan konflik di kabupaten Bima selama ini cenderung bersifat sementara. Kecenderungan pemerintah kabupaten Bima dalam mengambil tindakan meredam konflik seperti halnya sikap panik menghadapi kobaran api kebakaran, sementara disisilain mengabaikan untuk memperbaiki sumber dari kebakaran itu sendiri.

  Analisis Konflik Lewis A. Coser, Ralf Dahrendarf dan Randel Collins.
             Coser lahir di berlin 1913. Coser dalam karyanya the functions of social conflict ,1956 dan continiuties in the study of social conflict, 1967. meneliti tentang pengembangan lanjutan konflik. Lewis A. Coser memilih menyumbangkan pemikiran secara potensial positif, bahwa konflik membentuk pertahanan struktural agar tetap utuh. Resiko dari konflik laten atau penangan konflik yang bersifat menekan (repressed) beresiko pada putusnya hubungan solidaritas sosial, munculnya konflik yang besar dan munculnya konflik dalam bentuk lain. Katup penyelamat (savety-valve), mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu. Mengantisipasi kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan konflik yang bersifat destruktif (Poloma, 2004:109).
            Konflik Realistis (manifest) dan Non-Realistis (latenKonflik dan Solidaritas Sosial. Semakin dekat hubungan sosial maka semakin besar pula rasa kasih sayang yang tertanam dalam solidaritas sosial, sehingga kecenderungan untuk menekan rasa permusuhan semakin besar pula. 
            Dahrendorf lahir, German, 1912, Dahrendorf sendiri mendukung bahwa masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan konsensusDalam karyanya class and class conflict in industrial society, 1959. Konflik muncul akibat Munculnya Pertentangan Kelompok dan kelompok kepentingan dalam Perubahan Sosial.
1. Pertentangan Kelompok dan Perubahan Sosial
         Akibat dari adanya kekuatan, dan kekuasaanakan menimbulkan konflik yang bersifat vertikal atau horisontal. Keadaan proses perubahan sosial yang berawal dari kekuatan dan kekuasaan tersebut dipengaruhi olehSetiap masyarakat dalam segala hal tunduk pada proses perubahan, dan perubahan itu dapat terjadi dimana saja
       Setiap masyarakat dalam segala hal memperlihatkan ketidaksesuaian dan konflik, dan konflik sosial ada dimana sajaSetiap unsur dalam satu masyarakat memberikan kontribusi terhadap perpecahan dan perubahannyaSetiap masyarakat berdasarkan atas penggunaan kekerasan oleh sebagian anggotanya terhadap anggota lain (Dermatoto, 2010: 7). 
2. Munculnya Kelompok Kepentingan KonflikDahrendorf menjelaskan kondisi-kondisi kepentingan laten menjadi manifest dan kelompok semu, semua itu dapat diubah menjadi kelompok kepentingan yang bersifat konflik. Keadaan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai kondisi teknis, kondisi politik, dan kondisi sosial (Johnson, 1986:186). Kesenjangan posisi subordinat dan superordinatDalam struktur otoritas , Subordinat menderita deprivasi relatif absolut
    Karya Collins, conflict sociology, 1975. lahir tahun1941, California. Pandangannya tentang konflik, stratifikasi sosial, seperti semua struktur sosial lainnya, dapat dikurangi ke tingkat individuasl dalam kehidupan sehari-hari yang saling berinteraksi menurut cara yang terpolaOrang dipandang mempunyai sifat sosial (sociable), tetapi juga terutama mudah berkonflik dalam hubungan sosial mereka. “penggunaan kekerasan” yang selalu dapat dipakai seseorang atau banyak orang dalam lingkungan pergaulan. benturan mungkin terjadi karena kepentingan-kepentingan itu pada dasarnya saling bertentangan.        Stratifikasi konflik menjadi tiga prinsip. pertamaOrang hidup dalam dunia subjektif yang dibangun sendiri. kedua, Orang lain mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengontrol pengalaman subjektif seorang individu. ketiga, Orang lain sering mencoba mengontrol orang yang menentang mereka. Akbiatnya adalah kemungkinan terjadinya konflik individu.

Resolusi Konflik,
          Resolusi konflik (conflict resolution) membahas tentang berbagai konflik dan mencoba untuk membangun hubungan baru yang abadi diantara kelompok-kelompok yang saling bermusuhanWidjajanto membagi Resolusi konflik kedalam empat tahap (Widjajanto, 2004: 35) :
1. Memiliki nuansa kultural yang kental, karena tahap ini bertujuan untuk melakukan perombakan-perombakan sosial budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian yang langgeng
2. Masih didominasi oleh militer yang berupaya untuk mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi.
3. Memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai proses re-integrasi elit politik dari kelompok-kelompok yang bertikai.
4. Lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan problem-solving approach. 
        Metode penyelesaian konflik pada umumnya dalam menyelesaikan konflik komunal di Daerah Bima masih cenderung konvensional; pertamaPengaturan sendiri, pihak-pihak yang terlibat konflik menyusun strategi dan menggunakan taktik konflik untuk mencapai tujuan yang diharapkan. kedua, Menyelesaikan konflik dengan kekerasan dan tanpa kekerasan. ketiga, Melalui proses pengadilan, melalui menghindari keputusan (win & lose solution), mengupayakan (win & win solution). keempat, Melalui proses pendekatan legislasi (Rancangan UU, Peraturan Hukum, dll.). kelima, Melalui proses administrasi (Kesepakan damai dengan menggunakan Pihak ketiga sebagai mediasi). keenam, Rekonsiliasi (inggris: to reconsile), membangun kembali hubungan perdamaian pasca-Konflik

Kondisi sosial Daerah Bima.
       Daerah Bima terdiri dari 18 kecamatan dan 191 desa. Jumlah penduduk sebanyak 420.207 jiwaSuku mbojo, makassar/bugis, Arab-melayu, Jawa, Lombok-sasak, Samawa, Cina-tiong hoa, Manggarai-floras, dan sumba-endeKonflik muncul di daerah Bima terjadi Antar Warga dengan Warga Lainya (Horizontal) dan konflik Konflik Antara masyarakat dengan Pemerintah (vertikal).

Tradisi dan kebiasaan masyarakat Bima.
    1. Membawa senjata tajam di pandang memiliki nilai filosofis budaya (Jenis: Golok, keris, pisau belati, dan parang),; Tradisi congge sampari di acara sunatan, congge sampari bagi penganten di waktu pernikahan,2. Tutur kata dalam kebiasaan komunikasi sehari-hari.3. Ketidaksediaan Budaya Lokal dalam menerima Arus perubahan sosial yang besar.4. Orghen Tunggal/Hiburan Malam dan Kebiasaan Pemuda mabuk-mabukan yang berujung pada tindakan Penganiayaan.5. Merasa Superioritas dari yang Lainya,6. Kecenderungan Menyelesaikan Masalah diluar Jalur Hukum (Dendam),7. Munculnya Rasa Dendam akibat Lemahnya Penegakan Hukum.

Permasalahan Politik,1. Sistem demokrasi pemilihan pemerintahan yang mendorong tokoh tertentu atas dasar suara terbanyak.
2. Perebutan pengaruh dan kekuasaan di posisi strategis pemerintahan.
3. Perebutan posisi pemenangan dalam pemilihan kepala daerah (BupatiWalikota, DPRD, dll.).

Kondisi Ekonomi,1. Kemiskinan yang menyebabkan berkembangnya Pencurian, perampokan,
2. Pemerataan alokasi dana pembangunan di desa-desa kumuh dan terbelakang,
3. Kegagalan panen akibat kelangkaan pupuk.

Resolusi dengan Pendekatan Budaya Maja La'bo Dahu.
             Syarifudin  Jurdi, membagi budaya Maja Labo Dahu dalam 9 prinsip:
1. Cua iu ade angi (Saling menjaga perasaan),
2. Kaco’i Angi (Saling menghargai),
3. Kaco’i bandai weki (Menghargai diri sendiri),
4. Rombo ro kou (Bersikap & bertindak Jujur),
5. Saronco ra Sarome (Bersikap ramah & senyum),
6. Lamba angi (Menjalin silaturrahim),
7. Tedi (Rajin atau tekun),
8. Kidi kai Nggahi ra Rawi (Berpendirian & berprinsip),
9. Karawi Kaboju (Bekerja gotong royong).
           
             Konflik Sosial yang berlangsung didearah Bima bisa juga dikatakan sebagai konflik yang berskala kecil dan jenis konflik Horizontal, yaitu masyarakat dengan masyarakat. konflik ini memiliki akar potensi yang disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari faktor dendam antar individu dengan individu, hingga individu dengan kelompok yang berujung pada pelibatan komunitas masyarakat yang berskala desa antar desa. berbagai potensi konflik yang ada perlu mendapatkan perhatian khusus dan serius dari pemerintah, tokoh masyarakat khususnya pemuda pelopor pendidikan.
                     Peranan Adat, Local Wisdom dalam menyelesaikan masalah dengan mengambil langkah musyawarah dan Mufakat dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan hingga hasil akhirnya win and win solution yaitu tidak ada yang dirugikan menjadi sangat penting untuk dilaksanakan. Kondisi Daerah Bima yang tengah mengalami transisi pembangunan menyebabkan rentan dari berbagai sisi terhadap potensi konflik, belum lagi kondisi politik yang cenderung merekayasa keadaan dan hubungan sosial masyarakat Bima sesuai dengan kepentingan kelompoknya.
                 Kecenderungan penyelesaian konflik dengan tindakan kekerasan dari aparat kepolisian menjadi kekhawatiran tersendiri dalam mengamati stabilitas keamanan di Bima, setidaknya Pihak keamanan yang dalam hal ini perlu melakukan reformulasi dalam menemukan pendekatan penyelesaian konflik yang ideal untuk kedepanya, karena tindakan represif dan kekerasan terhadap masyarakat yang tengah tegang, kekecewaan mereka beralih pada sikap separatis terhadap sikap yang tidak bersahabat dari aparat keamanan Sipil tersebut. 

SURAKARTA, SABTU, 30 DESEMBER 2017
(PENULIS: ARIHAN, PPs. SOSIOLOGI. 
MATERI TELAH DIDISKUSIKAN DI FORUM MAHASISWA PASCASARJANA NTB-SURAKARTA 
FORMS NTB-SURAKARTA)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Rakyat Bima Kisah Putri yang Hilang Dae La Minga

Seni Beladiri Gantao Sebagai Identitas Suku Mbojo

DESA LAJU DAN TRANSMIGRASI UPT LAJU MERINTIS PEMBAGUNAN BIMA